Prof Iskhaq: Kalau Mau Giat Gotong Royong, Sekarang Saatnya!
AKHIR pekan lalu, Sabtu (27/7), India mengalami bencana banjir parah, dimana kereta api terjebak ditengah banjir. Bahkan, helikopter angkatan laut India dan kapal darurat datang untuk menyelamatkan lebih dari 800 orang yang terdampar di kereta yang dihadang banjir di dekat Mumbai pada Sabtu (27/7) waktu setempat.
Kereta bernama Mahalaxmi Express meninggalkan Mumbai pada Jumat (26/7) malam ke Kolhapur, tetapi hanya berhasil melakukan perjalanan 60 kilometer sebelum erdampar setelah sebuah sungai meluap di tengah hujan deras hingga menutupi rel.
Kereta berhenti selama sekitar 12 jam di distrik Thane sebelum pihak berwenang memanggil angkatan laut India dan Pasukan Bencana Nasional (NDRF) yang langsung mengerahkan helikopter, kapal, dan penyelam.
Lalu, hujan lebat menghantam Mumbai, India dan memaksa pembatalan 11 penerbangan dari bandara internasional ibu kota keuangan itu pada Sabtu waktu setempat. Sembilan pesawat yang hendak mendarat dialihkan ke bandara lain.
Jalan raya utama dari Mumbai (India,red) ke resor Goa ditutup karena banjir semakin meninggi. Setidaknya 20 sentimeter hujan turun di beberapa bagian Mumbai selama 24 jam. Bencana ini terjadi karena ada fenomena efek IOD atau Indian Ocean Dipole.
Prof Dr Iskhaq Iskandar MSc, ahli iklim Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya (Unsri), Minggu (28/7) pagi mengatakan Indonesia, Australia akan terdampak, juga negara sekitarnya terutama negara-negara yang mengelilingi Samudra Hindia. Untuk di Indonesia, diperkirakan IOD bersifat positif sehingga membuat kemarau.
Sedangkan di India, kata Prof Iskhaq, mengalami fenomena IOD negatif yang menyebabkan curah hujan tinggi hingga membuat potensi banjir. “Kalau di Indonesia mengalami kekeringan, maka di India akan banjir. Fenomena ini juga pernah terjadi di tahun 1994 dan 1998 lalu,”kata dia.
Meski singkat, hanya 3 bulan, Agustus hingga Oktober, fenomena anomali cuaca IOD ini harus disikapi. Karena, kekeringan yang terjadi akan mudah membuat lahan gambut di Sumatera Selatan menjadi kering, dan berpotensi besar mengalami kebakaran hutan dan lahan.
Untuk itu, saran Prof Iskhaq, sudah ada Badan Restorasi Gambut, banyak sekali program untuk mengatrasi kebakaran gambut. Namun, dirinya tetap mengakui ada kekhawatiran, ketika kering melanda maka gambut juga akan menjadi kering dan mudah sekali terbakar.
Bukannya sudah berpengalaman sejak 2015 lalu, penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan? Tapi kekhawatiran tetap juga dirasakan Prof Iskhaq. “Memang upaya (BRG,red) yang dilakukan sejak awal 2016 akan hilang (lalai cegah kebakaran,red). Bagi pemerintah, khususnya tim restorasi gambut, memang sudah disiapkan sumur bor, dan itu perlu dicek lagi,”kata dia.
Ia menambahkan, Agustus tinggal beberapa hari lagi, jangan sampai upaya yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini sia-sia, beberapa kabupaten dan kecanatan ditingkatkan waspadanya. “Siapkan selayaknya musim kemarau, karena potensi kebakaran hutan meningkat.”
Lalu, lanjut dia, kalau membuka lahan bukan membakar pada bulan ini (Agustus hingga Oktober,red), justru (membuka lahan,red) kemarin saat di bulan masih turun hujan. Karena, khawatirnya Prof Iskhaq, kalau membakar sekarang, dampaknya lebih luas lagi, kan lagi cuaca kering ini.
Terpenting koordinasi antar lintas lembaga atau instansi, kehutanan, SAR, BPBD dan lainnya. “Lembaga lintas sektor harus dikoordinasikan dan disiapkan. Memang (persiapan,red) sudah berjalan, namun sejak usai 2015 lalu (kebakaran parah,red), belum ada lagi kejadian (karhutla,red),”ulas dia.
Seperti, dirinya mencontohkan, selama ini, sejak usai 2015 lalu, dimana kebakaran hutan dan lahan cukup parah, tim sudah latihan (cegah kebakaran,red) tapi belum bertanding. “Tahun ini akan ada kompetisi (ancaman kebakaran,red), itu (persiapan,red) akan terlihat kalau tidak siap,”kata dia.
Tak hanya kebakaran hutan dan lahan gambut, isu kekeringan ini juga berimbas kepada banyak sektor kehidupan. Bagi daerah yang ada pembangkit listrik tenaga air, maka musim kering merupakan kesempatan untuk melakukan perawatan dan perbaikan sebelum debit air naik kembali.
Bidang transportasi, juga akan terdampak dari musim kering, karena adanya potensi kabut asap, tak hanya lalu lintas kendaraan, baik darat, laut hingga udara, hubungan dengan negara tetangga juga akan menjadi persoalan, jika akabut asap akibat kebakaran tak teratasi.
Begitu juga dengan kesehatan, jelas akan sangat mengganggu pernapasan, penyakit yang berkaitan dengan gangguan tersebut akan bermunculan. “Penyusutan debit air sungai juga harus diantisipasi, khususnya oleh PDAM, bagaimana perusahaan tersebut akan bersikap?,”ingatkannya.
Dan, musim kering ini juga menjadi kesempatan, khususnya bagi Pemerintah Kota Palembang yang selalu menggaungkan kampanye gotong royong di setiap minggunya. “Bisa sinkron dengan program pemkot (Palembang,red), gotong royong mengantisipasi di musim hujan,”pesannya.
Lainnya, sambung dia, membersihkan parit dan sungai harus segera direvitalisasi, sehingga ketika musim hujan datang, maka semua beres (normalisasi saluran air,red), kalau mau (giat gotong royong,red) maka sekarang inilah saatnya, karena ketika musim hujan dating sudah siap (anitisipasi,red).
Hasil observasi satelit NOAA menunjukkan bahwa telah terjadi evolusi IOD positif di Samudera Indonesia. Perlu diingat bahwa fenomena IOD positif ini akan menimbulkan kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia khusus wilayah bagian Barat kecuali Sumatera bagian Utara.
Sementara itu, hasil prediksi model yang dilakukan di Application Laboratory di JAMSTEC, Jepang menunjukkan bahwa puncak dari fenomena IOD positif ini akan terjadi di bulan Agustus – September 2019. Pada saat IOD positif ini mencapai puncaknya, maka sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau (defisit curah hujan).
Untuk itu, perlu melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya kekeringan yang cukup panjang selama bulan-bulan Agustus hingga Oktober 2019. Khusus untuk wilayah Sumatera bagian Selatan, kekeringan yang cukup panjang ini akan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
Jangan sampai ketidaksiapan dalam mengantisipasi kekeringan ini mengakibatkan upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi dampak terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut di tahun 2015 yang lalu menjadi sia-sia. Anomali iklim yang akan terjadi di tahun 2019 ini diprediksi sama dengan anomali iklim yang terjadi di tahun 1994.
IOD positif yang tumbuh di Samudera India tidak diiringi oleh fenomena El Nino di Samudera Pasifik. Oleh karena itu dampak yang akan timbul juga diprediksi tidak separah seperti di tahun 2015 yang lalu dimana IOD positif terjadi bersamaan dengan fenomena El Nino.
sumber : http://www.radar-palembang.com/prof-iskhaq-kalau-mau-giat-gotong-royong-sekarang-saatnya/