English English Indonesian Indonesian Japanese Japanese

Fenomena IOD “Serang” Indonesia

Tahun 2019 ini, Indonesia diprediksi akan mengalami musim kemarau yang cukup panjang. Hal ini dipengaruhi atau “menyerang” karena anomali yang berasal dari Samudra Hindia yang dikenal sebagai fenomena Indian Ocean Dipole (IOD). Lalu apa bedanya dengan Fenomeda El Nino.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sriwijaya (Unsri), Prof Dr Iskhaq Iskandar mengungkapkan, fenomena IOD ini berasal dari Samudra Hindia sedangkan El Nino berasal dari Samudra Pasifik.
“Fenomena IOD ini memiliki dua fase yaitu fase kering disebut IOD positif dan fase basah dikenal sebagai IOD negative, “kata Prof Iskhaq.
Jadi, kedua fenomena iklim ini juga akan mempengaruhi atau mengganggu sistem angin muson sehingga akan menimbulkan anomaly iklim di wilayah Indonesia. Interval terjadinya fenomena anomaly iklim di kedua Samudera tersebut berbeda. Fenomena ENSO terjadi setiap 2 – 7 tahun sekali, sementara fenomena IOD memiliki kecenderungan terjadi setiap 2 tahun sekali.

“Jika wilayah yang terkena fase negatif maka akan menghadapi musim hujan yang panjang , namun sebaliknya jika terkena fase positif maka wilayah tersebut akan menghadapi musim kemarau yang lebih panjang, dan saat ini Indonesia terkena pada fase positif, sehingga diprediksi kemarau akan kerjadi cukup panjang,”ungkap Prof Ishaq.
Sementara negara yang paling berdampak terhadap fenomena ini adalah Indonesia, Australia dan India yakni negara-negara yang mengelilingi samudra Hindia.
Prof Iskhaq juga menguraikan puncak kemarau akan terjadi pada Agustus dan September mendatang. Hanya saja, lanjut Calon Rektor Unsri ini, kondisi kemarau tahun ini berbeda jika dibandingkan kemarau yang melanda ditahun 2015 lalu yang dipengaruhi oleh fenomena El Nino.

“Kalau dilihat dari indeks data satelit , (fenomena) IOD sudah muncul, pola nya sudah terlihat jelas, sementara di Samudra Pasifik El Nino tidak muncul, “jelas Prof Iskhaq.
Lalu bagaimana dampaknya bagi wilayah Sumatera Selatan?, menurut Prof Iskhaq,
Dampak musim kemarau yang panjang ini adalah terjadinya kekeringan, yang dikhawatirkan berimbas pada kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
“Kalau di Sumbagsel ini, Karhutla menjadi isu pertama kekeringan, apalagi setelah 2015 sudah banyak program pemerintah yang dilakukan untuk mencegah karhutla meluas. Untuk tahun ini penting untuk persiapan lebih matang untuk mengantisipasi Karhutla, “sambungnya.

Apalagi lanjut Prof, selama musim kemarau dan IOD berlangsung diprediksi tidak ada hujan. “Kemungkinan tidak ada hujan, untuk suhu panas tertinggi bisa mencapai 36 derajat Celcius bahkan bisa lebih tinggi di daerah-daerah yang banyak potensi gambutnya,”sambungnya.
Namun Prof Iskhaq mengungkapkan, fenomena IOD juga bisa terhenti secara tiba-tiba. “Sudah pernah terjadi di 2003, pemicunya karena gelombang laut dari pesisir timur afrika yang merambat ke wilayah Indonesia. Gelombang laut ini membawa panas, efeknya akan cepat terjadi penguapan dan terjadi hujan,”jelasnya.
Maka dari itu, ia mengimbau kepada semua pihak agar dapat melakukan antisipasi sebelum puncak kemarau berlangsung. “antisipasinya lebih awal, seperti sumur bor yang sudah dipersiapkan untuk kembali dicek, bahkan memasuki puncak kemarau ini juga bisa dimanfaatkan bagi pemeritnah setempat untuk merevitalisasi sungai, untuk memgantisipasi terjadinya banjir sebelum memasuki musim penghujan,”katanya.

Sumber : 

http://beritapagi.co.id/2019/07/30/fenomena-iod-serang-indonesia.html

https://penasumatera.co.id/indonesia-bakal-alami-kemarau-panjang/